Dr.Mujahid Quraisy, S.E.,M.S.I.
Gelora
Hati Sang Peneliti
Pengertian
kebahagiaan dalam masyarakat sering dicampur aduk dengan kesenangan kepuasan
atau kegembiraan padahal secara teoretis ada perbedaan perbedaan mendasar pada
konsep konsep tersebut. Tugas keilmuan pada satu sisi adalah melakukan
penjernihan konsep dan di sisi lain mengamati fenomena sebagaimana adanya untuk
menyelaraskan dengan konsep. Artikel ini bermaksud menunjukkan satu proses
kerja penelitian yang dilakukan oleh 2 orang Guru Besar Psikologi Agama dalam
rangka mengembangkan konsep atau teori yang mapan tentang kebahagiaan.
Ray Paloutzian dan Craig W. Ellison adalah dua
peneliti yang mengembangkan teori spiritual well-being dan Spiritual Well-Being
Scale (SWBS). Paloutzian adalah seorang profesor psikologi di Universitas
Westmont, California. Ia memiliki minat dalam psikologi agama, kesehatan
mental, dan kualitas hidup. Paloutzian telah menulis banyak artikel dan buku
tentang topik ini, termasuk "Handbook of the Psychology of Religion and
Spirituality" yang ia edit bersama Crystal Park. Craig W. Ellison: Ellison
adalah seorang profesor emeritus di Sekolah Teologi Fuller, California. Ia
memiliki minat dalam psikologi agama, kesehatan mental, dan kualitas hidup.
Ellison telah menulis banyak artikel dan buku tentang topik ini, termasuk
"Spiritual Well-Being: Conceptualization and Measurement" yang ia
tulis bersama Paloutzian. Keduanya telah melakukan banyak penelitian tentang
spiritual well-being dan menggunakan SWBS sebagai alat pengukur. Mereka telah
menerbitkan banyak artikel dan buku tentang topik ini dan telah memberikan
kontribusi yang signifikan dalam memahami dan mengukur aspek-aspek spiritual
well-being dalam konteks psikologi dan penelitian sosial
Motivasi kedua
peneliti, Ray Paloutzian dan Craig W. Ellison, untuk mengembangkan Spiritual
Well-Being Scale (SWBS) adalah untuk mengukur spiritual well-being
(“kebahagiaan orang beriman”) secara terstandarisasi dan objektif. Tentu saja
ada banyak versi konsep/teori kebahagiaan spiritual Berikut
adalah beberapa pengukuran spiritual well-being lain selain Spiritual
Well-Being Scale (SWBS):
Meskipun ada
beberapa alat pengukur spiritual well-being lain selain SWBS, namun SWBS tetap
menjadi salah satu alat pengukur yang paling banyak digunakan dalam penelitian
tentang spiritual well-being. Skala ini telah menjadi alat yang penting dalam
memahami dan mengukur aspek-aspek spiritual well-being dalam konteks psikologi
dan penelitian sosial. Menurut data terakhir saat tulisan ini dibuat, skala ini
telah digunakan dalam berbagai penelitian dan telah menerima lebih dari 1000
kutipan.
Melacak Referensi Konsep bahagia Orang Beriman
Pertanyaan pertama
yang layak diajukan seorang saintis yang bekerja dalam penelitian adalah
pertanyaan ontologis apa itu Kebahagiaan. Jawaban tentang ini bisa berbeda beda
tergantung perspektif masing masing studi keilmuan. Tentu kita berbicara
sebatas keilmuan karena jawaban di luar keilmuan pun sangat beragam. Kebahagiaan
adalah emosi yang kompleks yang dipelajari dari berbagai perspektif. Menurut
ilmu agama, religiositas itu sendiri diklaim sebagai teknik untuk mencapai
tujuan hidup, kesehatan mental, kesejahteraan fisik, dan kedamaian batin, yang
pada akhirnya mengarah pada kebahagiaan. Ilmu psikologi mendefinisikan
kebahagiaan sebagai keadaan kesejahteraan subjektif, yang mencakup mekanisme
biologis dan faktor psikologis, budaya, dan sosial. Penelitian neurosains
menunjukkan bahwa kebahagiaan memiliki komponen genetik dan dikaitkan dengan
peningkatan kadar dopamin, neurotransmiter yang terkait dengan kesenangan dan
motivasi. Filsafat mengeksplorasi konsep kebahagiaan melalui kearifan lokal dan
akal sehat, mempertanyakan gagasan tradisional dan menawarkan wawasan tentang apa
yang benar-benar membuat orang bahagia. Secara keseluruhan, kebahagiaan adalah
fenomena multidimensi yang bisa dilihat dari perspektif agama, psikologis,
neurologis, dan filosofis.
Lalu bagaimana
konsep kebahagiaan menurut agama agama. Apa kebahagiaan itu. Kebahagiaan adalah
konsep universal yang dibahas dalam berbagai tradisi agama dan spiritual.
Menurut Islam, kebahagiaan adalah tujuan akhir dari kehidupan manusia dan
dicapai melalui ketaatan pada ajaran Tuhan. Agama Kristen memandang kebahagiaan
sebagai keadaan kedamaian dan kepuasan batin, yang dicapai melalui hubungan
dengan Tuhan. Dalam agama Buddha, kebahagiaan didefinisikan sebagai keadaan
pikiran yang mengalami kedamaian dan kepuasan batin, dan dicapai melalui
pengembangan spiritual dan material. Agama Hindu juga menekankan pengejaran
kebahagiaan melalui pengembangan spiritual dan material, dengan tujuan akhirnya
adalah penyatuan dengan yang ilahi. Perspektif non-agama atau spiritual tentang
kebahagiaan bervariasi, tetapi seringkali berfokus pada pemenuhan pribadi,
aktualisasi diri, dan menemukan makna dan tujuan hidup [5].
Tentu saja apa yang
dibaca dan telusuri oleh Ray Paloutzian dan Craig W. Ellison mungkin berbeda
pemahamannya namun pada prinsipnya mereka berdua melakukan upaya studi
keagamaan yang sumber utamanya adalah kitab suci semua agama dan non agama yang
merupakan sumber internalisasi iman di mana kebahagiaannya merupakan refleksi dari keimanan
melalui pembacaannya pada kitab suci masing-masing. Ray Paloutzian dan Craig W. Ellison
berkesimpulan bahwa kebahagiaan orang beriman adalah berasal dari religiositas
dan eksistensialis yakni bahwa hidupnya penuh makna yang ditentukan oleh
kualitas hubungan transpersonal (“Tuhan”), interpersonal (sesama manusia) dan
intrapersonal (diri sendiri). Melacak referensi yang valid adalah pekerjaan
penting seorang peneliti yang ingin membuat skala atau ukuran konsep atau teori
yang mapan. Karena adanya dorong untuk melakukan generalisasi maka pertanyaan
pokok yang perlu diajukan adalah esensi dan substansi dari satu konsep dari
berbagai sumber dalam hal ini konsep kebahagiaan orang beriman. Melalui suatu
konsep yang jelas secara teks memungkinkan untuk mengembangkan penelitian
lanjutan pada realitas melalui pengamatan. Ini adalah langkah untuk
memverifikasi teks dan konteks.
Imajinasi dalam studi Empirik (Grounded Theory) : Menemukan
Pola dan Konteks
Dalam perspektif
awam, imajinasi sering diposisikan dalam arti peyoratifnya. Imajinasi dianggap
serupa dengan ilusi, khayalan, dan fantasi. Namun, imajinasi sebenarnya
memiliki peran penting dalam melahirkan teori-teori agung di bidang ilmu
pengetahuan. Imajinasi memungkinkan seseorang untuk membayangkan sesuatu yang
belum ada atau belum terlihat, dan kemudian mengembangkan gagasan atau konsep
baru dari imajinasi tersebut. Maka dapat disebutkan peran penting imajinasi:
Pada awalnya
peneliti melihat fenomena kemudian mengamati dan mengenali pola. Tentu saja
pengenalan pola tersebut sedikit banyaknya di bantu oleh wawasan dan referensi
sebelumnya. Di mana imajinasi berperan?. Imajinasi dapat berperan besar pada hubungan
berbagai pola dan upaya melakukan kategori. Pertanyaan “apa?” dan “bagaimana?”
adalah pertanyaan pengantar imajinasi dalam membangun “teori kebahagiaan orang beriman”.
Hungelmann dan kawan kawan merupakan peneliti “teori kebahagiaan orang beriman”
yang dikenal sebelum Ray Paloutzian dan Craig W. Ellison. Berdasarkan bacaan pada
fakta empirik menemukan bahwa ada pola pola yang berkaitan dengan kategori dan
konteks waktu atas temuan apa yang nantinya dikenal sebagai spiritual well
being misalnya ditemukan dalam satu studi adanya konteks waktu dalam
memaknai spiritual well being. Bahwa para responden menjelaskan
kebahagiaan spiritualnya berkaitan dengan masa lalunya bersama agama (past
tense) dan lingkungan agama, masa kini (present tense) dalam relasi sosial yang baik karena ajaran
agama dan harapan masa depan atas hari pembalasan atau adanya kehidupan setelah
mati (Future tense). Dalam grand theory fakta fakta ini
dikonseptualisasi dalam 3 dimensi relasi. Intra personal (Relasi diri),
interpersonal (relasi sosial) dan transpersonal (Relasi Tuhan). Pengantar
imajinasi selanjutnya adalah pertanyaan dimana? Mencari konteks tersebut
Hungelmann dan para peneliti teori kebahagiaan orang beriman bersepakat
menemukan tempat yang tepat untuk teori tersebut yakni di Rumah Sakit dan Panti
Lansia karena disanalah
tempat paling meyakinkan bahwa orang hanya bisa tetap bahagia kalau mereka beriman.
Uji
Statistik: Membuat Skala Menguji Generalitas Teori
Kebahagian Orang Beriman
Memastikan generalitas teori kebahagiaan orang
beriman maka perlu diuji dalam berbagai komunitas dan wilayah ataupun kelas
sosial. Teori spiritual well being Ray Paloutzian
dan Craig W. Ellison, selama
ini telah diuji diberbagai komunitas melalui
kegiatan akademis selevel disertasi kurang lebih 1000 disertasi atau
sejenisnya. Pengembangan konstruk menjadi 20 item tentu merupakan proses panjang
dari studi pustaka, studi empirik (grounded Theory) menuju penetapan dimensi
dan indikator-indikator. Dalam teori SWB ini yang berangkat dari tiga dimensi
relasi dan waktu yakni intrapersonal, interpersonal dan transpersonal dan
dimensi waktu present tense, past tense dan furute tense. Berubah menjadi dua
dimensi yakni religiousitas dan eksistensial dengan 20 item konstruk yakni :
No. |
Statement |
Kuesioner |
1 |
Menilai
kepuasan dalam berdoa pribadi dengan Tuhan/Entitas Lebih Tinggi. |
Saya
tidak mendapatkan banyak kepuasan dari berdoa pribadi dengan Tuhan/Entitas
Lebih Tinggi. (SA - SD) |
2 |
Mengukur
tingkat pemahaman diri tentang identitas dan arah hidup. |
Saya
tidak tahu siapa saya, dari mana saya berasal, atau ke mana saya akan pergi.
(SA - SD) |
3 |
Menilai
keyakinan tentang cinta dan perhatian dari Tuhan/Entitas Lebih Tinggi. |
Saya
percaya bahwa Tuhan/Entitas Lebih Tinggi mencintaiku dan peduli terhadapku.
(SA - SD) |
4 |
Mengukur
pandangan tentang pengalaman hidup sebagai sesuatu yang positif. |
Saya
merasa bahwa hidup adalah pengalaman yang positif. (SA - SD) |
5 |
Menilai
keyakinan tentang sifat Tuhan/Entitas Lebih Tinggi dan keterlibatannya dalam
kehidupan sehari-hari. |
Saya
percaya bahwa Tuhan/Entitas Lebih Tinggi adalah tak berwujud dan tidak
tertarik dengan situasi harian saya. (SA - SD) |
6 |
Menilai
perasaan mengenai ketidakpastian terhadap masa depan. |
Saya
merasa tidak menentu tentang masa depan saya. (SA - SD) |
7 |
Menilai
adanya hubungan yang bermakna dengan Tuhan/Entitas Lebih Tinggi. |
Saya
memiliki hubungan yang bermakna secara pribadi dengan Tuhan/Entitas Lebih
Tinggi. (SA - SD) |
8 |
Menilai
tingkat kepuasan dan kepuasan hidup. |
Saya
merasa sangat puas dan puas dengan hidup saya. (SA - SD) |
9 |
Menilai
dukungan dan kekuatan personal dari Tuhan/Entitas Lebih Tinggi. |
Saya
tidak mendapatkan banyak kekuatan dan dukungan pribadi dari Tuhan/Entitas
Lebih Tinggi. (SA - SD) |
10 |
Menilai
perasaan mengenai arah hidup. |
Saya
merasa memiliki perasaan kesejahteraan tentang arah hidup saya. (SA - SD) |
11 |
Menilai
pandangan tentang perhatian Tuhan/Entitas Lebih Tinggi terhadap masalah
pribadi. |
Saya
percaya bahwa Tuhan/Entitas Lebih Tinggi peduli tentang masalah-masalah saya.
(SA - SD) |
12 |
Menilai
tingkat kenikmatan terhadap hidup. |
Saya
tidak menikmati banyak hal tentang hidup. (SA - SD) |
13 |
Menilai
keberadaan hubungan pribadi yang memuaskan dengan Tuhan/Entitas Lebih Tinggi. |
Saya
tidak memiliki hubungan yang memuaskan secara pribadi dengan Tuhan/Entitas
Lebih Tinggi. (SA - SD) |
14 |
Menilai
perasaan positif mengenai masa depan. |
Saya
merasa baik tentang masa depan saya. (SA - SD) |
15 |
Menilai
dukungan untuk mengatasi rasa kesepian dari Tuhan/Entitas Lebih Tinggi. |
Hubungan
saya dengan Tuhan/Entitas Lebih Tinggi membantu saya merasa tidak sendirian.
(SA - SD) |
16 |
Menilai
pandangan tentang konflik dan ketidakbahagiaan dalam hidup. |
Saya
merasa bahwa hidup penuh dengan konflik dan ketidakbahagiaan. (SA - SD) |
17 |
Menilai
perasaan kepenuhan saat berada dalam komuni yang erat dengan Tuhan/Entitas
Lebih Tinggi. |
Saya
merasa paling terpenuhi saat saya dalam komuni yang erat dengan Tuhan/Entitas
Lebih Tinggi. (SA - SD) |
18 |
Menilai
pandangan tentang makna hidup. |
Hidup
tidak memiliki banyak makna. (SA - SD) |
19 |
Menilai
kontribusi hubungan dengan Tuhan/Entitas Lebih Tinggi terhadap perasaan
kesejahteraan. |
Hubungan
saya dengan Tuhan/Entitas Lebih Tinggi berkontribusi pada perasaan
kesejahteraan saya. (SA - SD) |
20 |
Menilai
keyakinan tentang tujuan nyata dalam hidup. |
Saya
percaya bahwa ada tujuan nyata untuk hidup saya. (SA - SD) |
(SA: Sangat Setuju, MA: Setuju, A: Setuju Sedikit, D: Tidak Setuju, MD:
Tidak Setuju Sedikit, SD: Sangat Tidak Setuju)
Penutup
Studi ini merinci perjalanan pengembangan teori kebahagiaan orang beriman
dari studi literatur hingga uji statistik. Melalui pendekatan sains yang
teliti, Ray Hungelmenn
dkk., Paloutzian dan Craig W. Ellison
mampu mengembangkan Spiritual Well-Being Scale (SWBS) sebagai alat ukur yang
efektif dalam memahami dan mengukur aspek-aspek spiritual well-being. Dengan
memadukan imajinasi dalam studi empiris dan uji statistik yang cermat, teori
ini memberikan kontribusi penting bagi pemahaman tentang kebahagiaan dalam
konteks agama dan penelitian sosial.
Referensi