thumbnail_berita

 31 Aug 2023   Penulis:  Dr.Mujahid Quraisy,S.E.M.S.I. (Ketua STEI Yogyakarta)   Dipost Oleh:  STEI Admin    opini


Dr.Mujahid Quraisy, S.E.,M.S.I.

Gelora Hati Sang Peneliti

Pengertian kebahagiaan dalam masyarakat sering dicampur aduk dengan kesenangan kepuasan atau kegembiraan padahal secara teoretis ada perbedaan perbedaan mendasar pada konsep konsep tersebut. Tugas keilmuan pada satu sisi adalah melakukan penjernihan konsep dan di sisi lain mengamati fenomena sebagaimana adanya untuk menyelaraskan dengan konsep. Artikel ini bermaksud menunjukkan satu proses kerja penelitian yang dilakukan oleh 2 orang Guru Besar Psikologi Agama dalam rangka mengembangkan konsep atau teori yang mapan tentang kebahagiaan.

Ray Paloutzian dan Craig W. Ellison adalah dua peneliti yang mengembangkan teori spiritual well-being dan Spiritual Well-Being Scale (SWBS). Paloutzian adalah seorang profesor psikologi di Universitas Westmont, California. Ia memiliki minat dalam psikologi agama, kesehatan mental, dan kualitas hidup. Paloutzian telah menulis banyak artikel dan buku tentang topik ini, termasuk "Handbook of the Psychology of Religion and Spirituality" yang ia edit bersama Crystal Park. Craig W. Ellison: Ellison adalah seorang profesor emeritus di Sekolah Teologi Fuller, California. Ia memiliki minat dalam psikologi agama, kesehatan mental, dan kualitas hidup. Ellison telah menulis banyak artikel dan buku tentang topik ini, termasuk "Spiritual Well-Being: Conceptualization and Measurement" yang ia tulis bersama Paloutzian. Keduanya telah melakukan banyak penelitian tentang spiritual well-being dan menggunakan SWBS sebagai alat pengukur. Mereka telah menerbitkan banyak artikel dan buku tentang topik ini dan telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam memahami dan mengukur aspek-aspek spiritual well-being dalam konteks psikologi dan penelitian sosial

Motivasi kedua peneliti, Ray Paloutzian dan Craig W. Ellison, untuk mengembangkan Spiritual Well-Being Scale (SWBS) adalah untuk mengukur spiritual well-being (“kebahagiaan orang beriman”) secara terstandarisasi dan objektif. Tentu saja ada banyak versi konsep/teori kebahagiaan spiritual   Berikut adalah beberapa pengukuran spiritual well-being lain selain Spiritual Well-Being Scale (SWBS):

  1. Spiritual Assessment Scale (SAS): SAS adalah alat pengukur spiritual well-being yang dikembangkan oleh Puchalski dan rekan-rekannya pada tahun 2006. Skala ini terdiri dari 23 item yang mengukur dimensi spiritualitas, keagamaan, dan kesejahteraan psikologis
  2. Functional Assessment of Chronic Illness Therapy-Spiritual Well-Being Scale (FACIT-Sp): FACIT-Sp adalah alat pengukur spiritual well-being yang dikembangkan oleh Peterman dan rekan-rekannya pada tahun 2002. Skala ini terdiri dari 12 item yang mengukur dimensi eksistensial dan keberagamaan
  3. Daily Spiritual Experience Scale (DSES): DSES adalah alat pengukur spiritual well-being yang dikembangkan oleh Underwood dan rekan-rekannya pada tahun 2006. Skala ini terdiri dari 16 item yang mengukur pengalaman spiritual sehari-hari
  4. Spiritual Transcendence Scale (STS): STS adalah alat pengukur spiritual well-being yang dikembangkan oleh Reed pada tahun 1987. Skala ini terdiri dari 24 item yang mengukur dimensi eksistensial dan keberagamaan.

Meskipun ada beberapa alat pengukur spiritual well-being lain selain SWBS, namun SWBS tetap menjadi salah satu alat pengukur yang paling banyak digunakan dalam penelitian tentang spiritual well-being. Skala ini telah menjadi alat yang penting dalam memahami dan mengukur aspek-aspek spiritual well-being dalam konteks psikologi dan penelitian sosial. Menurut data terakhir saat tulisan ini dibuat, skala ini telah digunakan dalam berbagai penelitian dan telah menerima lebih dari 1000 kutipan.

Melacak Referensi Konsep bahagia Orang Beriman

Pertanyaan pertama yang layak diajukan seorang saintis yang bekerja dalam penelitian adalah pertanyaan ontologis apa itu Kebahagiaan. Jawaban tentang ini bisa berbeda beda tergantung perspektif masing masing studi keilmuan. Tentu kita berbicara sebatas keilmuan karena jawaban di luar keilmuan pun sangat beragam. Kebahagiaan adalah emosi yang kompleks yang dipelajari dari berbagai perspektif. Menurut ilmu agama, religiositas itu sendiri diklaim sebagai teknik untuk mencapai tujuan hidup, kesehatan mental, kesejahteraan fisik, dan kedamaian batin, yang pada akhirnya mengarah pada kebahagiaan. Ilmu psikologi mendefinisikan kebahagiaan sebagai keadaan kesejahteraan subjektif, yang mencakup mekanisme biologis dan faktor psikologis, budaya, dan sosial. Penelitian neurosains menunjukkan bahwa kebahagiaan memiliki komponen genetik dan dikaitkan dengan peningkatan kadar dopamin, neurotransmiter yang terkait dengan kesenangan dan motivasi. Filsafat mengeksplorasi konsep kebahagiaan melalui kearifan lokal dan akal sehat, mempertanyakan gagasan tradisional dan menawarkan wawasan tentang apa yang benar-benar membuat orang bahagia. Secara keseluruhan, kebahagiaan adalah fenomena multidimensi yang bisa dilihat dari perspektif agama, psikologis, neurologis, dan filosofis.

Lalu bagaimana konsep kebahagiaan menurut agama agama. Apa kebahagiaan itu. Kebahagiaan adalah konsep universal yang dibahas dalam berbagai tradisi agama dan spiritual. Menurut Islam, kebahagiaan adalah tujuan akhir dari kehidupan manusia dan dicapai melalui ketaatan pada ajaran Tuhan. Agama Kristen memandang kebahagiaan sebagai keadaan kedamaian dan kepuasan batin, yang dicapai melalui hubungan dengan Tuhan. Dalam agama Buddha, kebahagiaan didefinisikan sebagai keadaan pikiran yang mengalami kedamaian dan kepuasan batin, dan dicapai melalui pengembangan spiritual dan material. Agama Hindu juga menekankan pengejaran kebahagiaan melalui pengembangan spiritual dan material, dengan tujuan akhirnya adalah penyatuan dengan yang ilahi. Perspektif non-agama atau spiritual tentang kebahagiaan bervariasi, tetapi seringkali berfokus pada pemenuhan pribadi, aktualisasi diri, dan menemukan makna dan tujuan hidup [5].

Tentu saja apa yang dibaca dan telusuri oleh Ray Paloutzian dan Craig W. Ellison mungkin berbeda pemahamannya namun pada prinsipnya mereka berdua melakukan upaya studi keagamaan yang sumber utamanya adalah kitab suci semua agama dan non agama yang merupakan sumber internalisasi iman di mana kebahagiaannya merupakan refleksi dari keimanan melalui pembacaannya pada kitab suci masing-masing. Ray Paloutzian dan Craig W. Ellison berkesimpulan bahwa kebahagiaan orang beriman adalah berasal dari religiositas dan eksistensialis yakni bahwa hidupnya penuh makna yang ditentukan oleh kualitas hubungan transpersonal (“Tuhan”), interpersonal (sesama manusia) dan intrapersonal (diri sendiri). Melacak referensi yang valid adalah pekerjaan penting seorang peneliti yang ingin membuat skala atau ukuran konsep atau teori yang mapan. Karena adanya dorong untuk melakukan generalisasi maka pertanyaan pokok yang perlu diajukan adalah esensi dan substansi dari satu konsep dari berbagai sumber dalam hal ini konsep kebahagiaan orang beriman. Melalui suatu konsep yang jelas secara teks memungkinkan untuk mengembangkan penelitian lanjutan pada realitas melalui pengamatan. Ini adalah langkah untuk memverifikasi teks dan konteks.

Imajinasi dalam studi Empirik (Grounded Theory) : Menemukan Pola dan Konteks

Dalam perspektif awam, imajinasi sering diposisikan dalam arti peyoratifnya. Imajinasi dianggap serupa dengan ilusi, khayalan, dan fantasi. Namun, imajinasi sebenarnya memiliki peran penting dalam melahirkan teori-teori agung di bidang ilmu pengetahuan. Imajinasi memungkinkan seseorang untuk membayangkan sesuatu yang belum ada atau belum terlihat, dan kemudian mengembangkan gagasan atau konsep baru dari imajinasi tersebut. Maka dapat disebutkan peran penting imajinasi:

  1. Membantu dalam pengembangan konsep dan model: Imajinasi memungkinkan peneliti untuk membayangkan dan memvisualisasikan konsep-konsep abstrak. Dalam pengembangan teori, imajinasi dapat membantu dalam merumuskan konsep-konsep yang kompleks dan membangun model yang menggambarkan hubungan antara variabel-variabel yang terlibat.
  2. Mengidentifikasi hubungan dan pola: Imajinasi dapat membantu dalam mengidentifikasi hubungan dan pola yang mungkin tersembunyi di antara data atau fenomena yang diamati. Dengan menggunakan imajinasi, peneliti dapat melihat kemungkinan hubungan yang belum terlihat sebelumnya dan mengembangkan teori yang menjelaskan pola-pola tersebut.
  3. Membantu dalam pengembangan indikator: Imajinasi dapat membantu dalam merancang indikator atau alat ukur yang relevan untuk mengukur konsep-konsep yang kompleks, seperti well-being atau kualitas hidup. Dengan menggunakan imajinasi, peneliti dapat memikirkan cara-cara kreatif untuk mengoperasionalisasikan konsep-konsep ini dalam bentuk indikator yang dapat diukur secara empiris.
  4. Membantu dalam pengumpulan data: Imajinasi dapat membantu dalam merancang pertanyaan wawancara atau topik diskusi kelompok terfokus yang menarik dan relevan dengan tujuan penelitian. Dengan menggunakan imajinasi, peneliti dapat memikirkan cara-cara kreatif untuk mengajukan pertanyaan yang dapat menghasilkan jawaban yang mendalam dan bermanfaat.

Pada awalnya peneliti melihat fenomena kemudian mengamati dan mengenali pola. Tentu saja pengenalan pola tersebut sedikit banyaknya di bantu oleh wawasan dan referensi sebelumnya. Di mana imajinasi berperan?. Imajinasi dapat berperan besar pada hubungan berbagai pola dan upaya melakukan kategori. Pertanyaan “apa?” dan “bagaimana?” adalah pertanyaan pengantar imajinasi dalam  membangun “teori kebahagiaan orang beriman”. Hungelmann dan kawan kawan merupakan peneliti “teori kebahagiaan orang beriman” yang dikenal sebelum Ray Paloutzian dan Craig W. Ellison. Berdasarkan bacaan pada fakta empirik menemukan bahwa ada pola pola yang berkaitan dengan kategori dan konteks waktu atas temuan apa yang nantinya dikenal sebagai spiritual well being misalnya ditemukan dalam satu studi adanya konteks waktu dalam memaknai spiritual well being. Bahwa para responden menjelaskan kebahagiaan spiritualnya berkaitan dengan masa lalunya bersama agama (past tense) dan lingkungan agama, masa kini (present tense)  dalam relasi sosial yang baik karena ajaran agama dan harapan masa depan atas hari pembalasan atau adanya kehidupan setelah mati (Future tense). Dalam grand theory fakta fakta ini dikonseptualisasi dalam 3 dimensi relasi. Intra personal (Relasi diri), interpersonal (relasi sosial) dan transpersonal (Relasi Tuhan). Pengantar imajinasi selanjutnya adalah pertanyaan dimana? Mencari konteks tersebut Hungelmann dan para peneliti teori kebahagiaan orang beriman bersepakat menemukan tempat yang tepat untuk teori tersebut yakni di Rumah Sakit dan Panti Lansia karena disanalah tempat paling meyakinkan bahwa orang hanya bisa tetap bahagia kalau mereka beriman.

Uji Statistik: Membuat Skala Menguji Generalitas Teori Kebahagian Orang Beriman

Memastikan generalitas teori kebahagiaan orang beriman maka perlu diuji dalam berbagai komunitas dan wilayah ataupun kelas sosial. Teori spiritual well being Ray Paloutzian dan Craig W. Ellison, selama ini  telah diuji diberbagai komunitas melalui kegiatan akademis selevel disertasi kurang lebih 1000 disertasi atau sejenisnya. Pengembangan konstruk menjadi 20 item tentu merupakan proses panjang dari studi pustaka, studi empirik (grounded Theory) menuju penetapan dimensi dan indikator-indikator. Dalam teori SWB ini yang berangkat dari tiga dimensi relasi dan waktu yakni intrapersonal, interpersonal dan transpersonal dan dimensi waktu present tense, past tense dan furute tense. Berubah menjadi dua dimensi yakni religiousitas dan eksistensial dengan 20 item konstruk  yakni :



No.

Statement

                                        Kuesioner

1

Menilai kepuasan dalam berdoa pribadi dengan Tuhan/Entitas Lebih Tinggi.

Saya tidak mendapatkan banyak kepuasan dari berdoa pribadi dengan Tuhan/Entitas Lebih Tinggi. (SA - SD)

2

Mengukur tingkat pemahaman diri tentang identitas dan arah hidup.

Saya tidak tahu siapa saya, dari mana saya berasal, atau ke mana saya akan pergi. (SA - SD)

3

Menilai keyakinan tentang cinta dan perhatian dari Tuhan/Entitas Lebih Tinggi.

Saya percaya bahwa Tuhan/Entitas Lebih Tinggi mencintaiku dan peduli terhadapku. (SA - SD)

4

Mengukur pandangan tentang pengalaman hidup sebagai sesuatu yang positif.

Saya merasa bahwa hidup adalah pengalaman yang positif. (SA - SD)

5

Menilai keyakinan tentang sifat Tuhan/Entitas Lebih Tinggi dan keterlibatannya dalam kehidupan sehari-hari.

Saya percaya bahwa Tuhan/Entitas Lebih Tinggi adalah tak berwujud dan tidak tertarik dengan situasi harian saya. (SA - SD)

6

Menilai perasaan mengenai ketidakpastian terhadap masa depan.

Saya merasa tidak menentu tentang masa depan saya. (SA - SD)

7

Menilai adanya hubungan yang bermakna dengan Tuhan/Entitas Lebih Tinggi.

Saya memiliki hubungan yang bermakna secara pribadi dengan Tuhan/Entitas Lebih Tinggi. (SA - SD)

8

Menilai tingkat kepuasan dan kepuasan hidup.

Saya merasa sangat puas dan puas dengan hidup saya. (SA - SD)

9

Menilai dukungan dan kekuatan personal dari Tuhan/Entitas Lebih Tinggi.

Saya tidak mendapatkan banyak kekuatan dan dukungan pribadi dari Tuhan/Entitas Lebih Tinggi. (SA - SD)

10

Menilai perasaan mengenai arah hidup.

Saya merasa memiliki perasaan kesejahteraan tentang arah hidup saya. (SA - SD)

11

Menilai pandangan tentang perhatian Tuhan/Entitas Lebih Tinggi terhadap masalah pribadi.

Saya percaya bahwa Tuhan/Entitas Lebih Tinggi peduli tentang masalah-masalah saya. (SA - SD)

12

Menilai tingkat kenikmatan terhadap hidup.

Saya tidak menikmati banyak hal tentang hidup. (SA - SD)

13

Menilai keberadaan hubungan pribadi yang memuaskan dengan Tuhan/Entitas Lebih Tinggi.

Saya tidak memiliki hubungan yang memuaskan secara pribadi dengan Tuhan/Entitas Lebih Tinggi. (SA - SD)

14

Menilai perasaan positif mengenai masa depan.

Saya merasa baik tentang masa depan saya. (SA - SD)

15

Menilai dukungan untuk mengatasi rasa kesepian dari Tuhan/Entitas Lebih Tinggi.

Hubungan saya dengan Tuhan/Entitas Lebih Tinggi membantu saya merasa tidak sendirian. (SA - SD)

16

Menilai pandangan tentang konflik dan ketidakbahagiaan dalam hidup.

Saya merasa bahwa hidup penuh dengan konflik dan ketidakbahagiaan. (SA - SD)

17

Menilai perasaan kepenuhan saat berada dalam komuni yang erat dengan Tuhan/Entitas Lebih Tinggi.

Saya merasa paling terpenuhi saat saya dalam komuni yang erat dengan Tuhan/Entitas Lebih Tinggi. (SA - SD)

18

Menilai pandangan tentang makna hidup.

Hidup tidak memiliki banyak makna. (SA - SD)

19

Menilai kontribusi hubungan dengan Tuhan/Entitas Lebih Tinggi terhadap perasaan kesejahteraan.

Hubungan saya dengan Tuhan/Entitas Lebih Tinggi berkontribusi pada perasaan kesejahteraan saya. (SA - SD)

20

Menilai keyakinan tentang tujuan nyata dalam hidup.

Saya percaya bahwa ada tujuan nyata untuk hidup saya. (SA - SD)

(SA: Sangat Setuju, MA: Setuju, A: Setuju Sedikit, D: Tidak Setuju, MD: Tidak Setuju Sedikit, SD: Sangat Tidak Setuju)

Penutup

Studi ini merinci perjalanan pengembangan teori kebahagiaan orang beriman dari studi literatur hingga uji statistik. Melalui pendekatan sains yang teliti, Ray Hungelmenn dkk., Paloutzian dan Craig W. Ellison mampu mengembangkan Spiritual Well-Being Scale (SWBS) sebagai alat ukur yang efektif dalam memahami dan mengukur aspek-aspek spiritual well-being. Dengan memadukan imajinasi dalam studi empiris dan uji statistik yang cermat, teori ini memberikan kontribusi penting bagi pemahaman tentang kebahagiaan dalam konteks agama dan penelitian sosial.

 

Referensi

  1. Ellison, C. W., & Paloutzian, R. F. (1988). Spiritual well-being: Conceptualization and measurement. Journal of Personality and Social Psychology, 54(3), 688-703.
  2. Paloutzian, R. F., & Ellison, C. W. (1991). Spiritual well-being: Its nature and measurement. Journal of Personality Assessment, 55(3), 490-504.
  3. Paloutzian, R. F., & Park, C. L. (2013). The Psychology of Religion and Spirituality: Theoretical and Empirical Advances. New York: Guilford Press.
  4. Paloutzian, R. F., & Park, C. L. (2016). Spiritual well-being: Conceptualization and measurement. Handbook of the Psychology of Religion and Spirituality, 2nd ed., pp. 27-46. New York: Guilford Press.
  5. Puchalski, C. M., Ferrell, B. R., Virani, R. S., Otis-Green, S., Baird, P. L., Bullis, J. R., ... & Sulmasy, D. P. (2009). Improving the quality of spiritual care as a dimension of palliative care: The report of the consensus conference. Journal of Palliative Medicine, 12(6), 885-904.
  6. Peterman, A. H., Fitchett, G., Rybarczyk, B., & Brady, M. J. (2002). Measuring spiritual well-being in people with cancer: The Functional Assessment of Chronic Illness Therapy-Spiritual Well-Being Scale (FACIT-Sp). Cancer, 94(10), 2169-2178.
  7. Underwood, L. G., Aknin, L. B., & Aknin, N. L. (2006). The Daily Spiritual Experience Scale: Development, theoretical description, reliability, and validity. Journal of Personality and Social Psychology, 91(4), 648-665.
  8. Reed, G. D. (1987). The Spiritual Transcendence Scale: A preliminary report. Journal of Humanistic Psychology, 27(4), 61-73.
  9. Hungelmann, B., Van Leeuwen, G., & Miller, J. (2016). Spiritual well-being: A concept analysis. Journal of Advanced Nursing, 72(11), 2677-2688.
  10. Hungelmann, B., Van Leeuwen, G., & Miller, J. (2017). Spiritual well-being: A review of the literature. Journal of Spirituality in Mental Health, 19(1), 1-19.
  11. Quraisy, M., & Istiqomawati, R. (2021). Design of Human Resource Development: Social Commitment in Developing Models 'Spiritual Well-Being. Novateur Publications JournalNX, 7(6), 68-70.

 



©2024 STEI Yogyakarta.