thumbnail_berita

 5 Feb 2015   Penulis:  Admin STEI Yo   Dipost Oleh:  STEI Admin    berita


Oleh : Siti Achiria, SE., MM

Indonesia dikenal sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Negara ini juga dikenal sebagai negara yang mempunyai kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Hal ini sesungguhnya memungkinkan Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki kekuatan ekonomi di dunia. Dengan pengelolaan kekayaan alam yang tepat, mestinya kedua potensi tersebut dapat mensejahterakan hidup masyarakat Indonesia. Namun kenyataannya, pemerintah Indonesia sampai dengan saat ini masih dihadapkan pada permasalahan penting bangsa. Masalah tersebut diantaranya, masih banyak rakyat yang hidup dibawah garis kemiskinan, lapangan kerja yang tidak berkembang, mahalnya harga kesehatan dan pendidikan, krisis kepercayaan, korupsi, maupun hutang luar negeri. Oleh karenanya dibutuhkan solusi, yang dalam jangka panjang berdampak positif dan signifikan bagi upaya pembangunan dan peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Masih terekam dalam ingatan, peristiwa tragis di Jakarta yang terjadi di bulan Ramadhan tahun 2004. Seorang nenek tewas mengenaskan akibat terinjak-injak massa yang berebut antri beras zakat. Namun di sisi lain terlihat sekelompok masyarakat yang sedemikian kaya, sehingga keinginannya untuk dapat menikmati makan pagi, makan siang, dan makan malam di tiga negara dalam sehari, dapat terpenuhi. Sungguh, kesenjangan ekonomi yang luar biasa yang menimbulkan begitu banyak kepahitan.

Upaya meningkatkan taraf hidup seluruh rakyat Indonesia memang menjadi tanggungjawab pemerintah. Namun rangkaian kebijakan yang telah diambil pemerintah selama ini belum memberikan pencerahan yang signifikan bagi pembangunan jangka panjang. Oleh karenanya, sebagai umat Muslim yang cinta tanah air, merasa terpanggil untuk ikut berpartisipasi, berupaya untuk keluar dari masalah tersebut. Dengan demikian, upaya kemandirian pada semua aspek kehidupan benar-benar tidak lagi mengandalkan bantuan dari pemerintah semata. Saling  bersinergi sesama umat Islam menjadi agenda utama.

Sebagai generasi ekonom Muslim, tentu berharap dapat memberikan yang terbaik bagi kemajuan perekonomian umat. Maraknya ekonomi Islam, memiliki tujuan akhir, yang tidak lain adalah sebagaimana tujuan dari syariat Islam itu sendiri (maqashid asy syari'ah), yakni mencapai kesejahteraan di dunia dan akhirat (falah), melalui suatu tata kehidupan yang baik dan terhormat (hayyah thayyibah).

Ekonomi Islam hadir tidak sekadar berorientasi untuk pembangunan fisik material dari individu, masyarakat dan negara saja, tetapi ekonomi Islam juga memperhatikan pembangunan aspek-aspek lain yang juga merupakan elemen penting bagi kehidupan yang sejahtera di dunia dan akhirat. Dengan demikian, konsep Islam secara lengkap telah menunjukkan bahwa manusia hidup tidak hanya berorientasi pada dimensi horizontal, tetapi juga pada dimensi vertikal.

Secara garis besar, syariat Islam meliputi dua aspek. Pertama, ajaran murni yang merupakan hubungan antara manusia dengan Allah yang disebut dengan ibadah, misalnya shalat dan puasa. Kedua, ajaran murni yang merupakan hubungan sosial atau muamalah dalam arti luas, seperti perdagangan, keuangan dan pernikahan.

Terkait dengan hubungan sosial ini, Allah menghendaki agar umat Islam saling tolong-menolong, membantu satu dengan yang lain dalam menjalani hidup, termasuk diantaranya dalam hal distribusi harta kekayaan. Firman Allah dalam Quran Surat al-Hasyr (59) ayat 7 yang Artinya, "Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu".

Dalam hal ini Allah SWT telah menunjukkan cara bagi umat Islam untuk menyalurkan (mendistribusikan) kekayaannya melalui zakat, infak, shadaqah, dan wakaf (ziswaf), yang dikenal dengan istilah instrumen ekonomi Islam.

Di Indonesia, zakat, infak, dan shadaqah bukan merupakan hal baru. Masyarakat sudah mengenal dengan baik dan sudah sering dilakukan oleh masyarakat Indonesia. Begitu pula dengan jumlah pengelola zakatnya. Di Indonesia (2007) telah tercatat Badan Amil Zakat (BAZ) dari tingkat nasional sampai desa/kelurahan ditambah dengan 500 Lembaga Amil Zakat (LAZ). Dengan tersebarnya pengelola zakat tersebut, maka manfaat dari zakat, infak, dan shadaqah sudah dapat dibuktikan dan dirasakan oleh mereka yang berhak menerimanya. Meskipun demikian, potensi zakat, infak, dan shadaqah tentu saja masih dapat dioptimalkan lagi.

Sementara instrumen wakaf, sebagai salah satu sistem distribusi harta kekayaan, sampai saat ini masih belum dikembangkan secara profesional. Artinya, wakaf belum dapat menunjukkan kontribusinya sebagai pilar perekonomian sebagaimana zakat. Padahal, sebagai sarana ibadah yang berdimensi sosial, wakaf mengandung filosofi dan hikmah yang besar bagi kehidupan manusia.

Wakaf secara bahasa berasal dari kata waqf yang berarti menahan, mengekang, menghentikan. Pengertian wakaf adalah menghentikan perpindahan hak milik atas suatu harta yang bermanfaat dan tahan lama dengan cara menyerahkan harta itu kepada pengelola, baik perorangan, keluarga maupun lembaga, untuk digunakan bagi kepentingan umum di jalan Allah SWT. Wakaf, sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah Saw, memiliki kekhasan, yaitu harus tetap nilai pokoknya. Sedangkan yang dapat dimanfaatkan adalah hasil dari pengelolaan wakafnya.  Ibadah wakaf didasari oleh Al Quran surat Ali Imran (3) ayat 92, yang Artinya,

"Kalian sekali-kali tidak sampai pada kebajikan (yang sempurna), sebelum  kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya."

Keutamaan pahala wakaf, tidak diragukan lagi. Jaminan amalan ini sebagai amal jariyah yang pahalanya akan tetap mengalir meski orang yang berwakaf telah meninggal dunia, sebagaimana pahala anak sholeh yang selalu mendoakan kedua orang tuanya dan ilmu yang bermanfaat.

Dalam hal pemanfaatan hasil pengelolaan wakaf, Didin Hafidhuddin mengatakan bahwa optimalisasi penerima wakaf bisa lebih luas dibanding zakat, karena tidak ada kualifikasi penerima manfaat wakaf, sedangkan penerima zakat (mustahiq) dibatasi pada 8 ashnaf penerima zakat. Artinya bahwa manfaat wakaf dapat disalurkan/digunakan untuk berbagai keperluan, selama tidak menyimpang dari ketentuan syar'i. 

Akhir-akhir ini, perhatian pemerintah terhadap pengembangan wakaf terlihat semakin menggembirakan. Upaya serius telah dilakukan pemerintah, diantaranya menyiapkan perangkat hukum berupa undang-undang dan peraturan tentang wakaf, melakukan sosialisasi wakaf melalui seminar, iklan, pamflet, spanduk, talk show, mendukung penelitian-penelitian tentang wakaf, menyelenggarakan pembinaan terhadap nazhir-nazhir  (pengelola wakaf) se-Indonesia, melakukan pengembangan atas harta benda wakaf, pendataan potensi tanah wakaf, pensertifikatan tanah wakaf, maupun melakukan kerja sama dengan pihak-pihak terkait, baik berskala nasional maupun internasional. Jalinan  kerjasama tersebut diantaranya dengan Islamic Research and Training Institute (IRTI)-Islamic Development Bank (IDB), Kuwait Auqaf Public Foundation (KAPF), Jam'iyah Ihya al-Turats (JIT), Pusat Kajian Timur Tengah dan Islam (PKTTI), maupun dengan Badan Wakaf Qatar (BWQ).

Selain itu, pemerintah juga telah membentuk lembaga independen untuk mengelola wakaf di seluruh Indonesia, yakni Badan Wakaf Indonesia (BWI). Dalam operasionalnya, Badan Wakaf Indonesia ini akan bekerjasama dengan instansi Pemerintah baik di tingkat Pusat maupun Daerah, organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional, dan pihak lain yang dipandang perlu. Sehingga  melalui Badan Wakaf Indonesia ini diharapkan perwakafan di Indonesia mampu berkembang lebih baik dan menjadi potensi ekonomi di tiap daerah di seluruh Indonesia.

Terobosan lain yang telah dilakukan oleh pemerintah adalah melakukan pengembangan jenis harta benda wakaf. Dahulu, wakaf yang dikenal di negara ini hanya wakaf berupa tanah, kebun, bangunan, dan harta benda tidak bergerak lainnya. Sekarang jenis harta benda wakaf telah bervariasi. Berwakaf dengan harta benda bergerak seperti buku, Al Quran, perhiasan, logam mulia, surat berharga, kendaraan, maupun berupa uang, mulai diperkenalkan.

Salah satu yang sedang digalakkan oleh Badan Wakaf Indonesia adalah wakaf uang. Wakaf uang, diresmikan di Indonesia sejak dikeluarkannya Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 11 Mei 2002 tentang Wakaf Uang. Kemudian didukung oleh Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, dan diperkuat dengan peluncuran Gerakan Nasional Wakaf Uang pada tanggal 6 Oktober 2009 yang telah disupport oleh Presiden Republik Indonesia, Bapak Dr. H. Susilo Bambang Yudoyono.

Wakaf uang merupakan salah satu inovasi dari produk wakaf yang merupakan sumber dana yang potensial dan fleksibel serta memiliki kemaslahatan besar yang tidak dimiliki oleh benda lain. Terlebih lagi nilai pokok dari dana wakaf uang tersebut tidak akan berkurang. Selama ini orang memandang bahwa untuk bisa berwakaf harus menjadi orang kaya terlebih dahulu. Namun sekarang, dengan wakaf uang, masyarakat yang ingin berwakaf tetapi tidak memiliki tanah untuk diwakafkan, maka dapat berwakaf dengan uang. Hal ini sangat memungkinkan dilakukan oleh umat Muslim Indonesia, karena nominal uang yang diwakafkan dapat disesuaikan dengan kemampuan wakif (pihak yang mewakafkan harta benda miliknya). Hal ini tentu saja memudahkan masyarakat yang ingin berwakaf uang, karena besarnya nominal wakaf uang dapat dijangkau oleh masyarakat, tanpa harus menunggu kaya terlebih dahulu.

Untuk mendukung hal tersebut, Badan Wakaf Indonesia telah mengatur tata cara berwakaf uang dan menunjuk lima bank syariah sebagai Penerima Wakaf Uang (PWU). Kelima bank syariah tersebut adalah Bank Syariah Mandiri, BNI Syariah, Bank Muamalat, Bank DKI Syariah serta Bank Mega Syariah, baik yang berwakaf secara individu maupun kelompok.  Selain bank tersebut, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta terdapat bank syariah yang juga sebagai PWU yaitu Bank BPD DIY Syariah.

Bagi pemerintah, wakaf uang dapat berfungsi sebagai instrumen fiskal alternatif untuk penggalangan dana, khususnya untuk mengkolaborasikan dengan potensi tanah wakaf yang ada. Mengingat potensi tanah wakaf yang begitu besar, tanpa dukungan dana dari wakaf uang, maka rasanya upaya memproduktifkan tanah-tanah wakaf tersebut terasa lamban untuk dapat dikembangkan.

Manfaat besar dari pengelolaan wakaf telah dibuktikan oleh negara-negara lain yang telah mengembangkannya secara produktif. Misalnya di negara Turki, Mesir, Kuwait, Qatar, Siria, Maroko, Iran, India, Yordania, Sudan, Pakistan, Bangladesh, Filipina, Malaysia, Singapura, Inggris, maupun Amerika. Sebagai contoh, di Kairo Mesir terdapat sebuah perguruan tinggi bernama Universitas al Azhar yang telah berdiri sejak tahun 972 M.  Universitas al Azhar menjalankan aktivitasnya secara mandiri dengan menggunakan dana wakaf. Dana yang terkumpul dari wakaf, oleh nazhir digunakan untuk investasi dengan mengelola gudang dan perusahaan di Terusan Suez. Hasil dari investasi wakaf inilah yang kemudian digunakan untuk keperluan pendidikan. Universitas al Azhar juga sanggup mendatangkan para mahasiswa Muslim dari berbagai penjuru dunia dengan beasiswa  yang dihasilkan dari pengelolaan wakaf. Bahkan pemerintah Mesir sempat meminjam dana wakaf Universitas al Azhar untuk operasionalnya. Dari gambaran tersebut, dapat dipahami bahwa pengelolaan wakaf secara produktif mampu berperan dalam pembangunan modal manusia.

Begitu pula di negara Bangladesh. Sebagai negara yang memiliki kesamaan kondisi dengan Indonesia, negara ini melakukan reformasi dalam manajemen dan administrasi harta wakaf dengan mendirikan Social Investment Bank Limited (SIBL) dengan memperkenalkan Sertifikat Wakaf Tunai (Cash-Waqf Certificate). Menurut M.A. Mannan, wakaf uang ini sangat penting artinya dalam memobilisasi dana untuk menjadi alternatif peningkatan pendapatan bagi jutaan warga miskin dan pengembangan wakaf property.

Dalam upaya memproduktifkan wakaf sebagai penopang kesejahteraan umat, banyak ide yang dapat dikembangkan. Wakaf tidak hanya digunakan untuk masjid, mushola, dan makam. Namun lebih dari itu, wakaf dapat diproduktifkan ataupun diinvestasikan pada sektor riil sebagai lahan pertanian, perdagangan, perindustrian, perkantoran, pasar, supermarket, gedung-gedung untuk disewakan, pusat kajian informasi dan teknologi, pom bensin, perusahaan, sekolah-sekolah modern, perguruan tinggi Islam, apartemen, hotel, bank wakaf, dan lain sebagainya.

Dari hasil investasi (berupa profit atau uang sewa) tersebut selanjutnya sebagian dapat digunakan untuk keperluan konsumsi bagi golongan lemah dan sebagian lagi dapat diproduktifkan kembali ke sektor riil lain. Sasaran pemanfaatan dari dana hasil pengelolaan wakaf tersebut antara lain digunakan untuk peningkatan standar hidup orang miskin, rehabilitasi orang cacat, membantu pendidikan yatim piatu, beasiswa, pengembangan pendidikan modern, mendanai riset, mendirikan rumah sakit, mendirikan bank daerah, menyelesaikan masalah sosial muslim maupun non muslim, membantu biaya pernikahan, mendanai masyarakat pergi haji, mendanai pemeliharaan binatang, membantu proyek penciptaan lapangan kerja, serta mengurangi anggaran belanja pemerintah. Demikian seterusnya, investasi tersebut akan bergulir menjadi sumber kekuatan ekonomi yang sangat kuat yang akan memberdayakan umat Islam dan pemerintahan di negeri Indonesia.

Potensi wakaf di Indonesia sangat besar. Menurut data yang dihimpun Departemen Agama RI sampai dengan tahun 2008 tercatat jumlah tanah wakaf di Indonesia mencapai 2.686.536.565,68 meter persegi atau 268.653,67 hektare yang tersebar di 366.595 lokasi di seluruh Indonesia. Sedangkan potensi wakaf uang, meskipun belum dapat disamakan dengan wakaf tanah, namun apabila digali potensinya maka akan sangat besar nominalnya. Dalam sebuah ilustrasi  menurut Mustafa Edwin Nasution (2003), Wakil Ketua Badan Wakaf Indonesia sekaligus Ketua Umum Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI), menyatakan bahwa potensi wakaf uang di Indonesia dalam satu tahun dapat mencapai sekitar 3 trilyun rupiah.

 

 

No Kriteria Penghasilan Jumlah Wakif Nominal Wakaf Uang Jumlah Dana Terkumpul
1 Rp. 5 Juta ke Atas 1 Juta Orang Rp. 100.000/ Bulan Rp. 1,2 Milyar
2 Rp. 2 - 5 Juta 2 Juta Orang Rp. 50.000/ Bulan Rp. 1,2 Milyar
3 Rp. 1 - 2 Juta 3 Juta orang Rp. 10.000/ Bulan Rp. 360. Juta
4 Rp. 500 Ribu - 1 Juta 4 Juta Orang Rp. 5.000/ Bulan Rp. 240 Juta
  Jumlah Terkumpul 10 Juta Orang   Rp. 3 Trilyun

 Asumsinya, bila terdapat 1 juta orang muslim Indonesia yang berpenghasilan Rp 5 juta keatas menyerahkan wakaf uang sebesar Rp 100 ribu per bulan, kemudian 2 juta orang berpenghasilan Rp 2 juta - Rp 5 juta  berwakaf Rp 50 ribu per bulan, lalu 3 juta orang berpenghasilan Rp 1 juta - Rp 2 juta berwakaf Rp 10 ribu per bulan, dan empat juta orang dengan  pendapatan Rp 500 ribu - Rp 1 juta berwakaf Rp 5 ribu per bulan, maka dalam setahun akan terkumpul dana wakaf uang sebesar Rp 3 trilyun per tahun, dan itu akan menjadi sebuah investasi dana abadi. 

Sedangkan menurut Direktur Tabung Wakaf Indonesia (TWI), Zaim Saidi, potensi wakaf uang di Indonesia dapat mencapai sepertiga kekayaan umat Muslim. Potensi itu, menurutnya diukur dari anjuran Rasulullah untuk berwakaf sebesar sepertiga dari harta yang dimiliki.

Wakaf uang sendiri memiliki peran besar dalam perekonomian negara. Sebagai instrumen yang masih dianggap baru dalam konstelasi ekonomi Indonesia, wakaf uang telah mengundang tanggapan positif yang cukup besar dari beberapa pengamat ekonomi. Wakaf uang dinilai menjadi jalan alternatif untuk melepas ketergantungan bangsa ini dari lembaga-lembaga kreditor multilateral sekaligus menstimulasi pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Namun, di Indonesia, praktek wakaf secara produktif masih belum berjalan dengan lancar sebagaimana di negara lain. Masih sedikit lembaga pengelola wakaf yang membuka layanan bagi masyarakat yang ingin berwakaf uang.

Oleh karena itu sudah menjadi tugas bersama, sebagai generasi penerus bangsa untuk mengembangkan wakaf-wakaf di daerah, yang tersebar di seluruh Nusantara (2008). Dari Aceh (64.176.332,002 m2), Sumatera (844.750.323 m2), Bangka Belitung (3.178.983 m2), Jawa (248.547.655,07 m2), Kalimantan (51.418.419,20 m2), Sulawesi (43.520.678,80 m2), Bali (1.247.938 m2), Nusa Tenggara (28.613.118,53 m2), Maluku (30.954.542 m2), sampai Papua (249.871.107 m2), tanah-tanah wakaf menanti peran para sarjana ekonom Muslim.

Kontribusi dari para sarjana ekonomi Islam khususnya, dan umat Muslim Indonesia pada umumnya, dalam hal pengembangan wakaf ini, sangat dibutuhkan. Peran sarjana ekonomi Islam dalam optimalisasi edukasi dan sosialisasi wakaf produktif, menumbuhkan kesadaran (awareness) dan minat berwakaf, mengeksplorasi potensi wakaf, reoptimalisasi pemanfaatan wakaf, serta menjadi inspirator dan pengintegrasi antara masyarakat, pemerintah, dan jaringan bisnis, merupakan peran yang amat berharga.

Inovasi kreatif atas potensi wakaf daerah, serta mendukung tatanan dan nilai-nilai luhur yang ada, dengan mengapresiasikan dan mengembangkan ekonomi daerah, maka hal tersebut akan memberi stimulan bagi percepatan terwujudnya manfaat wakaf. Satu hal yang patut diingat, bahwa aktivitas-aktivitas tersebut benar-benar mencerminkan aktivitas yang dipikirkan dan dilakukan oleh, dari, dan untuk masyarakat.

Gerakan Nasional Wakaf Uang ini patut didukung bersama, mengingat wakaf yang masih berupa tanah, sangat membutuhkan dana yang fleksibel seperti wakaf uang, untuk memproduktifkan tanah wakaf. Misalnya, dalam satu bidang tanah wakaf akan diproduktifkan, didirikan bangunan tiga lantai. Lantai satu didesain menjadi area masjid dan sarana dakwah/sosial. Lantai dua digunakan untuk sektor riil/pengembangan ekonomi umat. Lantai tiga untuk sektor pendidikan atau kesehatan. Sedangkan lantai basement untuk halaman parkir.

Keberhasilan wakaf di negara-negara Islam sangat didukung oleh institusi pengelola wakaf, profesionalitas dan integritas para pengelolanya, serta dukungan pemerintah. Regulasi tentang wakaf yang jelas dan apresiatif terhadap perkembangan zaman merupakan unsur penting yang mendorong keberhasilan wakaf dalam menyejahterakan umat dan masyarakat.

Orientasi wakaf yang hanya diarahkan kepada ritualitas ubudiyah yang bersifat vertikal tanpa dibarengi dengan visi produktivitas dan ekonomi tampaknya perlu diubah. Sudah saatnya lembaga wakaf di Indonesia dikelola secara profesional sehingga dapat berperan aktif dalam mengatasi permasalahan ekonomi yang sedang terjadi di negeri ini.

Hanya dengan satu tekad dan niat yang tulus, kesadaran berjuang dalam memproduktifkan wakaf yang ada hingga mampu memberdayakan potensi daerah dan menjadikan wakaf sebagai sumber kekuatan ekonomi yang mandiri dalam jangka panjang, menjadi agenda penting ke depan.

  1. Wakaf telah menunjukkan kontribusi nyata terhadap kesejahteraan, membantu kebutuhan religius masyarakat serta mengurangi biaya bagi generasi di masa depan.
  2. Keberhasilan pengelolaan wakaf di negara-negara muslim telah menjadi bukti nyata, bahwa apabila wakaf dikelola secara produktif, maka wakaf benar-benar mampu menjadi salah satu pilar perekonomian umat.
  3. Sudah seharusnya peran generasi sarjana ekonomi Islam khususnya dan umat Muslim Indonesia pada umumnya, untuk ikut andil mewujudkan keberhasilan wakaf di tiap daerah di Indonesia.
  4. Mengingat potensi tanah wakaf yang begitu besar dan membutuhkan dana untuk mengkolaborasikannya menjadi wakaf produktif, maka program pemerintah menggalakkan Gerakan Nasional Wakaf Uang, selayaknya mendapat dukungan bersama.

Referensi

-

Al Quran

-

Abdul Ghafur Anshori, Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, Yogyakarta: Pilar Media, 2006.

-

Departemen Agama Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Jakarta: 2007. 

-

Majelis Ulama Indonesia, Keputusan Fatwa Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tentang Wakaf Uang , yang ditetapkan pada tanggal 11 Mei 2002 M.

-

Monzer Kahf, The Role of Waqf In Improving The Ummah Welfare, Presented to the Seminar on "Waqf as a Private Legal Body" organized by the Islamic University of North Sumatra, Medan, Indonesia January 6-7, 2003.

-

Monzer Kahf, Waqf and Its Sociopolitical Aspects.

-

Monzer Kahf, The Role of Waqf In Improving The Ummah Welfare, Presented to the Seminar on "Waqf as a Private Legal Body" organized by the Islamic University of north Sumatra, Medan, Indonesia January 6-7, 2003.

-

Murat Çizakça, A History Of Philanthropic Foundations: The Islamic World From The Seventh Century To The Present, Economics Department Bogazici University Istanbul, Eighth Draft.

-

Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi (P3EI) Universitas Islam Indonesia Yogyakarta atas kerja sama dengan Bank Indonesia, Ekonomi Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008.

-

Siti Achiria. Wakaf Produktif Dan Kemandirian Perekonomian Umat. Makalah Kuliah Umum Mahasiswa Baru Sekolah Tinggi Ekonomi Islam Yogyakarta Tahun Akademik 2009/2010 di Kampus Islamic Banking School STEI Yogyakarta Senin, 12 Oktober 2009.

-

Tabloid Republika Dialog Jumat, Wakaf Uang Potensinya Sungguh Luar Biasa, Jumat, 9 Oktober 2009.

-

Tabloid Republika Dialog Jumat, Ketika Wakaf Uang Menjadi Gaya Hidup, Jumat, 9 Oktober 2009.

-

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 2004, Himpunan Undang-undang Tentang Pengelolaan Zakat dan Wakaf, (Bazda Kabupaten Serang, 2007).

-

http://muhammadiyahsurabaya.blogspot.com/2009/04/pemberdayaan-ekonomi-umat-melalui.html

-

http://www.news.id.finroll.com/nasional/71395-_bwi-idb-mou-kelola-tanah-wakaf-indonesia_.html

-

http://bw-indonesia.net/

-

http://invisiblehand.multiply.com/journal/item/18

-

http://komunitaswakaf.org/web/index.php?option=com_content&task=view&id=20&Itemid=29

-

http://www.pkesinteraktif.com/content/view/5271/204/lang,id/

 

 



©2024 STEI Yogyakarta.